Seputar berita terkini dan teraktual tentang berita umum, teknologi, olahraga dan juga informasi lifestyle baik itu gosip, kuliner, tempat menarik dan sebagainya

Ads

Sembilan Adab Menjadi Orang Kaya Menurut Imam Al-Ghazali


Kekayaan, betapapun kerasnya cara kita mendapatkannya, adalah anugerah Allah. Karena anugerah, ia harus diperlakukan sesuai dengan aturan-aturan Sang Pemberi Anugerah. Orang tak bisa seenaknya berbuat dengan hartanya meskipun ia mengklaim itu hasil jerih payahnya sendiri. Sebab, setiap yang dimiliki manusia terkandung tanggung jawab yang harus dipikul. Sikap etis dalam memiliki kekayaan termasuk dari implementasi tanggung jawab tersebut.


Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali menjelaskan etika menjadi orang kaya dalam salah satu risalahnya berjudul Al-Adabu fid Dîn, persisnya dalam fasal Âdâbul Ghanî (dalam Majmû‘ Rasâil al-Imâm al-Ghazâlî, Kairo: al-Maktabah at-Taufîqiyyah). Imam Al-Ghazali mengulas beberapa poin penting yang harus dilakukan oleh orang berpunya.


Pertama, selalu bersikap tawaduk (luzûmut tawadlu'). 

Kedua, menghapus sikap sombong (nafyut takabbur). Orang yang memiliki kelebihan, termasuk kelebihan harta benda, diharuskan untuk melestarikan sifat rendah hati, tidak angkuh, terhadap orang lain baik miskin maupun kaya seperti dirinya. Sifat ini bisa muncul jika si kaya menginsafi bahwa kekayaan hanyalah titipan atau sekadar amanat.

Ketiga, senantiasa bersyukur (dawâmusy syukr). Lawan dari syukur adalah kufur alias mengingkari kekayaan sebagai karunia yang sangat berharga. Kufur biasanya dipicu oleh sifat tamak, tak puas dengan apa yang sedang dimiliki. 

Keempat, terus bekerja untuk kebajikan (at-tawâshul ilâ a‘mâlil birr).Di antara modal orang kaya yang tak dimiliki orang miskin adalah kekuatan ekonomi. Karena itu hendaknya kekuatan ini dimanfaatkan untuk kemaslahatan orang lain, bukan dibiarkan menumpuk, bukan pula untuk kegiatan mubazir atau yang menimbulkan mudarat.

Kelima, menunjukkan air muka yang berseri-seri kepada orang fakir dan gemar mengunjunginya (al-basyâsyah bil faqîr wal iqbâl ‘alaihi). Sikap ini adalah bukti bahwa si kaya tak membedakan pergaulan berdasarkan status ekonomi seseorang. 

Keenam, menjawab salam kepada siapa saja (raddus salâm ‘alâ kulli ahadin). Orang kaya juga dituntut untuk membalas sapaan yang datang dari setiap orang, terlepas dari latar belakang keturunan, kekayaan, status sosial, profesi, dan lain-lain. Manusia memang diciptakan setara dan sama-sama mulia, dan demikianlah seharusnya tiap orang saling bersikap.

Ketujuh, menampakkan diri sebagai orang yang berkecukupan (idh-hârul kifâyah). Artinya, orang kaya tak sepatutnya bersikap memelas atau menunjukkan tanda-tanda sebagai orang yang butuh bantuan. Tentu ini berbeda dari sikap hidup sederhana, yang menjadi lawan dari berfoya-foya dan terlalu bermewah-mewahan.

Kedelapan, lembut dalam bertutur dan berperangai ramah (lathâfah al-kalimah wa thîbul muânasah). Artinya, tidak mentang-mentang kaya dan bisa melakukan banyak hal dengan kekuatan ekonominya, orang kaya lantas boleh berbuat apa saja, termasuk berkata kasar dan merendahkan orang lain.

Kesembilan, suka membantu untuk kepentingan-kepentingan yang positif (al-musâ‘adah ‘alal khairât). Contah dari sikap ini adalah bersedekah, membangun fasilitas umum, memberi bantuan modal usaha, menanggung biaya pendidikan orang miskin, dan lain-lain. (Mahbib)


Share:

Memahami Makna Spekulasi dalam Perjudian dan Pasar


Dalam Al-Qur’an telah disinggung bahwa judi merupakan perbuatan kotor, ciri khas dari amaliah setan (QS. Al-Maidah: 90). Judi sering dicirikan sebagai sebuah tindakan spekulatif menebak-nebak keberadaan sesuatu yang berada di balik tirai. Bila sang penebak beruntung, maka ia bisa mendapatkan ‘iwadl (‘ganti rugi/keuntungan’, red), dan bila ia gagal, maka harta miliknya yang dipasang sebagai taruhan akan diambil oleh pihak lain yang benar dalam menebak. Jadi, judi itu identik dengan taruhan dan spekulasi.

Judi dalam sebuah perlombaan ditengarai sebagai ajang taruhan antar-peserta lomba. Semua peserta lomba tanpa kecuali mengumpulkan barang miliknya yang dipertaruhkan, kemudian dilakukan perlombaan, dan pemenangnya berhak mengambil semua bagian yang dikumpulkan tadi sebagai iwadl.

Unsur judi dalam lomba ini hilang, manakala ada salah satu dari peserta lomba berperan sebagai muhallilMuhallil adalah pihak peserta lomba yang keberadaannya berlaku sebagai penyebab halalnya ‘iwadl yang terkumpul. Dengan keberadaan muhallil ini, sifat maisir menjadi hilang dan berubah menjadi musâbaqah(lomba adu cepat) dan munâdlalah (lomba adu ketangkasan). Sementara ‘iwadl yang terkumpul kurang satu–karena muhallil tidak ikut mengumpulkan–telah berubah kedudukannya menjadi hadiah dan bukan lagi menjadi barang yang dipertaruhkan. Inilah sebagian dari ciri-ciri judi itu. 

Singkatnya, dalam setiap judi, terdapat unsur:
1. Adanya tindakan yang bersifat spekulatif (untung-untungan)
2. Adanya barang yang dipertaruhkan dan 
3. Pihak yang benar dalam spekulasinya menjadi pemenang (penerima untung) sementara pihak yang salah dalam spekulasi akan berlaku sebagai pihak yang dikalahkan (merugi).
Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan dalam perjudian. Tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Setiap kasus perjudian, wajib memenuhi ketiga syarat di atas. Keluar satu syarat saja, maka tidak bisa dinamakan judi (maisir) yang diharamkan.

Sekarang, mari kita bahas makna spekulasi dalam pasar. Benarkah bahwa spekulasi pasar termasuk bagian dari perjudian (gambling)?

Untuk memahami makna spekulasi pasar itu, kita bawa pada ilustrasi yang memudahkan. Kita awali dari ilustrasi sederhana. Tentu saudara ingat dengan sebuah jajanan anak kecil, yang berisi permen dan di dalamnya tersimpan nomor undian, bukan? Bila beruntung maka ia bisa mendapat hadiah di atasnya. Namun bila gagal, ia hanya mendapat permen dua butir yang harganya tidak setara dengan uang untuk membelinya. Dulu jajanan ini banyak tersebar di kios-kios kampung pengkaji berasal. Namun, akhir-akhir ini sudah tidak begitu marak lagi seperti dulu. Jajanan ini oleh orang Jawa diistilahkan dengan bahaa ngepris, yang asalnya dari kata price.

Jajanan dengan contoh di atas, adalah masuk unsur spekulasi pasar kategori judi. Apa alasannya: 

1. Pembeli tidak membeli permennya, melainkan ia berorientasi pada hadiah yang menggiurkan dan terpajang di atasnya (terdapat unsur taruhan).

2. Pembeli harus memilih pilihan yang masuk kategori “untung-untungan” tanpa adanya “pengetahuan” sama sekali dengan nomor yang tersimpan di antara permen itu (bai’ majhūl). Dengan bahasa lain, sambil merem dan setengah ngantuk pun bisa (terdapat unsur spekulasi)

3. Kalau beruntung dapat nomor bagus, maka ia beroleh hadiah, dan jika tidak beruntung, ya ia dapat permennya saja, atau bahkan hanya nomornya saja (terdapat unsur adanya pihak yang dikalahkan dan diambil hartanya)

Itulah salah satu contoh kasus spekulasi pasar yang masuk unsur judi (maisir). Dasar ini bisa kita gunakan untuk memahami prinsip maisir dalam pasar yang lain.

Kita beralih pada kasus spekulasi pasar yang lain. Di tanah tempat kelahiran penulis, tepatnya Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, para petani memiliki pola dan gaya bercocok tanam yang unik. Keunikannya adalah mereka memiliki sebuah firasat harga barang di pasaran. Padahal, mayoritas hanyalah sebagai petani, dan mengetahui harga pasar hasil pertaniannya kalau pas menepati waktu panen saja atau berdasar informasi dari pedagang. 

Pola bercocok tanam petani yang berdasar tren informasi harga pasar dan tabiat harga hasil pertanian, telah mendidik warga desa untuk arif dalam bercocok tanam. Misalnya, harga cabai merah umumnya naik pada kisaran bulan Januari dan Februari. Pada waktu bulan Maret dan April, bahkan sampai Mei, “seringnya” adalah harga cabai anjlok (turun). Lonjakan harga cabai kembali terjadi manakala sudah memasuki bulan Juni, Juli dan Agustus.

Tabiat harga pasar ini secara tidak langsung mempengaruhi gaya bercocok tanam petani desa tersebut. Karena usia cabai siap panen adalah minimal adalah 70-90 hari setelah tanam, maka pada kisaran bulan Oktober, di akhir musim kemarau, petani ada yang sudah berani untuk memasukkan bibit tanaman ke ladangnya. Padahal risikonya sangat besar, yaitu petani harus setiap pagi dan sore menyirami bibit yang sudah dimasukkan ke ladang itu, sementara tanah benar-benar dalam kondisi kering karena tidak ada air. Bisa diibaratkan, rumput jalanan pun ikut kering. Jika petani melakukan hal ini, maka setidaknya pada pertangahan atau akhir Januari, ia sudah bisa memetik buahnya dengan harga yang jarang dijumpai meleset dari perkiraan. 

Sepekulasi petani dalam menanam yang berdasarkan “tren harga” pasar, sehingga berbuah pada “harga jual cabai” yang mahal tepat pada “waktu panen,” tidak bisa disebut sebagai perjudian. Meskipun, dasarnya adalah sama-sama berangkat dari makna sepekulasi (untung-untungan). Adanya usaha yang dilakukan petani untuk merawat tanamannya, menjadi dasar penghilang makna taruhan. Karena di dalam taruhan tersimpan unsur ketiadaan juhdun (usaha/kerja). Tren pasar juga dimaknai sebagai tabiat pasar dan setara kedudukannya dengan adat/tradisi yang dalam fiqih menempati kategori ‘urf (kebiasaan berdasar pengetahuan). 

Nah, berdasar uraian ini, penulis berharap pembaca bisa membedakan, apa yang dimaksud dengan spekulasi dalam perjudian yang dilarang oleh syara’ dengan spekulasi pasar yang berpatokan pada adat/tradisi harga pasar. Dengan dasar pemahaman ini, kita tidak akan ragu lagi untuk masuk pada level kajian “spekulasi pasar” yang sedikit lebih rumit. Dan akhirnya, semoga bermanfaat! Wallahu a‘lam bish shawab.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik, Jatim

Share:

Hukum Membaca Surat Yusuf dan Maryam untuk Calon Bayi


Oleh: Ustadz Ma’ruf Khozin*
Aliran Salafi memang tidak pernah suka dengan tabarruk, demikian halnya juga tidak mengamalkan tafaul. Sementara kita sering mengamalkan keduanya. Sebab kita yakin, keberkahan dan kebaikan datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mari kita perhatikan hadits berikut:
ﻗﺎﻝ ابو هريرة ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ: «ﻻ ﻃﻴﺮﺓ، ﻭﺧﻴﺮﻫﺎ اﻟﻔﺄﻝ» ﻗﺎﻟﻮا: ﻭﻣﺎ اﻟﻔﺄﻝ؟ ﻗﺎﻝ: «اﻟﻜﻠﻤﺔ اﻟﺼﺎﻟﺤﺔ ﻳﺴﻤﻌﻬﺎ ﺃﺣﺪﻛﻢ» رواه البخاري
Abu Hurairah mendengar bahwa Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak boleh meyakini sial (seperti dari suara burung). Sebaik-baiknya adalah tafaul (mengharap kebaikan)”. Para sahabat bertanya: “Apa tafaul?” Nabi menjawab: “Kalimat yang bagus, yang didengar oleh kalian.”(HR Bukhari)
Hadits di atas menegaskan bahwa tafaul berbeda dengan tathayyur atau tsyaum (merasa sial). Tafaul dibolehkan. Nah, yang kita amalkan adalah tafaul kandungan dengan dibacakan surat dalam al-Quran, yaitu surat Yusuf dan Surat Maryam. Bagaimana hukum tafaul dengan surat dalam al-Quran? Ulama beda pendapat, kebetulan kita mengikuti pendapat yang membolehkan:
(ﻭاﺳﺘﻔﺘﺎﺡ اﻟﻔﺄﻝ ﻓﻴﻪ) – ﺃﻱ: اﻟﻤﺼﺤﻒ (ﻓﻌﻠﻪ) ﺃﺑﻮ ﻋﺒﻴﺪ اﻟﻠﻪ (اﺑﻦ ﺑﻄﺔ) – ﺑﻔﺘﺢ اﻟﺒﺎء – (ﻭﻟﻢ ﻳﺮﻩ) اﻟﺸﻴﺦ ﺗﻘﻲ اﻟﺪﻳﻦ ﻭﻻ (ﻏﻴﺮﻩ) ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺘﻨﺎ. ﻭﻧﻘﻞ ﻋﻦ اﺑﻦ اﻟﻌﺮﺑﻲ ﺃﻧﻪ ﻳﺤﺮﻡ، ﻭﺣﻜﺎﻩ اﻟﻘﺮاﻓﻲ ﻋﻦ اﻟﻄﺮﺳﻮﺳﻲ اﻟﻤﺎﻟﻜﻲ، ﻭﻇﺎﻫﺮ ﻣﺬﻫﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ اﻟﻜﺮاﻫﺔ
“Mengawali mendapatkan kebaikan dari al-Quran telah dilakukan oleh Abu Ubaidillah ibn Battah. Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan imam kita lainnnya (Hanabilah) tidak sependapat. Ibnu Arabi mengharamkannya. Al-Qarafi meriwayatkan hukum haram ini dari Thurthusi al-Maliki. Sedangkan pendapat secara dzahir Madzhab Syafiiyah adalah makruh.” (Mathalib Uli An-Nuha, 1/159).
Cek di: http://www.hujjahnu.com/2017/07/hukum-membaca-surat-yusuf-dan-maryam.html?m=1
*Dewan Pakar Aswaja Center PWNU Jatim

Share:

Kekeliruan-kekeliruan dalam Memahami 'Kafir' dalam Al-Qur'an


Pada pembukaan Kongres kelima Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj meminta para penghafal, pembaca, dan pengkaji Al-Qur’an di kalangan NU jangan sampai jatuh pada hadits Nabi yang artinya: “membaca Al-Qur’an hanya sampai di tenggorokan”. 

Ungkapan itu, maksudnya tiada lain adalah orang yang membaca Al-Qur’an, tapi pemahamannya tidak sampai di hati dan praktik. 

Karena itulah, para ahli Al-Qur’an NU harus bisa memahaminya sebagaimana para ulama terdahulu. Sebab, jika keliru akan berakibat fatal. Misalnya dalam memahami kata kafir, jika salah, akan berakibat terkucurnya darah seseorang atau sekelompok orang.  

Abdurrahman bin Muljam misalnya, adalah orang yang memahami ayat Al-Qur’an dengan cara salah. Sayidina Ali, sahabat dan sekaligus menantu Nabi Muhammad yang termasuk kalangan pertama memeluk Islam, dianggap kafir karena dianggap tidak menggunakan hukum Allah berdasarkan ayat Al-Qur’an. Darah pun terkucur.  

Grand Syekh Al-Azhar saat berkunjung ke PBNU pada awal Mei Tahun ini mengajak umat Islam untuk tidak mengkafirkan orang yang masih bersyahadat dan menghadap kiblat. Apalagi karena berbeda pilihan partai politik. 

Ada mekanisme tertentu untuk menyebut orang sebagai kafir. Kalaupun iya seseorang jelas kafir, ada mekanisme tertentu dalam memeberikan hukum kepadanya. Tidak gampang. 

Bahkan di dalam Al-Qur’an sendiri, dalam konteks tertentu, kafir ada yang bermakna menimbun biji di dalam tanah. Ada juga yang bermakna, seseorang yang tidak mensyukuri nikmat. 

Bagaimana sebetulnya cara memahami Al-Qur’an itu agar tidak jatuh pada penafsiran yang salah? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai pakar Al-Qur’an, seorang ahli dalam qiraah sab’ah, penghafal Al-Qur’an, pemimpin pondok pesantren Al-Qur’an, doktor lulusan di Madinah dengan hasil cum loude, yaitu KH Ahsin Sakho Muhammad, di Pondok Pesantren Asshidiqiyah Karawang, 15 Juli lalu. 

Reputasinya dalam bidang Al-Qur’an diakui banyak orang. Dia pernah menjadi Rektor Institute Ilmu Al-Qur’an (IIQ), dosen tafsir di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ). 

Tak heran kemudian, para ahli Al-Qur’an di NU mempercayakan posisi Rais Majelis Ilmi Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama kepadanya. Bahkan beberapa periode hingga hari ini. 

Berikut petikannya:

Bagaimana JQHNU mendidik penghafal dan pengkaji Al-Qur’an agar tidak jatuh pada ungkapan dari Nabi Muhammad "ada orang membaca Al-Qur'an hanya sampai pada tenggorokan"?

Al-Qur’an kitab yang rahmatan yang lil alamin. Jangan melihat Al-Qur’an dengan satu mata saja. Melihat Al-Qur’an harus secara menyeluruh. Jangan memahami Al-Qur’an seenaknya sendiri, tidak menggunakan dan melihat yang lain-lain, misalnya asbabun nuzul. Jangan menggunakan satu dalil saja, misalnya dalam masalah hukum: inil hukmu ila lilllah {Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah (Yusuf ayat 40)}. Jangan Itu saja. Misalnya lagi, apakah mereka akan mencari hukum jahiliyah pada ayat, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50). 

Jika hanya menggunakan ayat itu, selain hukum Islam, berarti hukum jahiliyah. Nah, begitu kan. Sekarang di Indonesia itu hukumnya peninggalan Belanda. Berarti kalau begitu hukum jahiliyah. Orang (yang berpendapat seperti ini) tidak membeda-bedakan mana hukum bersifat sipil yang merupakan wewenang dari negara, mana yang merupakan wewenang dari syara. Mereka tidak melihat di Indonesia adalah negara yang memperbolehkan shalat, haji, wakaf ada, perbankan (syariah) ada. Apalagi coba? Apakah akan "gedung" itu dihancurkan dulu? Kalau ada konsep yang tidak cocok, ya itu saja ketidakcocokannya (yang diubah), misalnya ketidakadilan; bagaimana umat Islam supaya menciptakan orang-orang baik yang penuh dengan keadilan. Kalau sistemnya dirombak dulu, wah, itu sih terlalu jauh dan hasilnya juga belum tentu. 

Dan begini saja sudah kehidupan keislaman, islami. Kehidupan islami itu apa? Islam itu luas sekali berkaitan dengan unsur-unsur kemasyarakatan, kepribadian. Orang yang hidup di desa, mengerjakan shalat lima waktu, akhlaknya bagus, tidak menyakiti orang lain; sudah dia hidup dalam kehidupan yang islami; di negara apa saja. Nah, sekarang orang yang hidup di Amerika, apa negaranya harus dihancurin dulu? 

Ini (Indonesia) adalah namanya darul mu’ahadah (negara hasil perjanjian), darul muwathanah (negara kebangsaan) negara Indonesia ini. Nabi sendiri pada waktu hidup di Madinah bersama dengan orang Yahudi dan berbagai suku. Apakah hidup pada waktu itu disebut hidup di zaman jahiliyah (karena Nabi menggunakan hukum Piagam Madinah berdasarkan kesepakatan semua elemen)? Kan enggak juga. Jadi pemahaman-pemahaman seperti inilah yang harus diserap oleh orang-orang yang masih memiliki pemahaman yang masih dangkal, pemahaman yang dangkal. (Al-Qur’an dipahami) dari segi lafaznya saja. Ngajinya bagus. Kalau mengajarkan juga bagus. Tapi pemahaman yang dibaca masih setengah-setengah. 

Apa Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Sayidina Ali dengan alasan ayat Al-Qur’an termasuk orang yang memahaminya setengah-setengah?  

Ibnu Muljam, ia melihatnya Sayidina Ali itu bermusyarawah dalam menentukan hukum; kan (di dalam Al-Qur'an ada ayat) وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ (dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, QS Ali Imran 159). Ia tidak melihat itu. Itu yang bahaya sekali kalau pemahaman seperit itu. Makanya saya tulis Oase Al-Qur’an, buku saya. Bagian-bagian pertama inti-inti ajaran Islam itu adanya di sini. Ada enggak surah-suarah Makiyah (surat atau ayat yang turun di Makkah) menyuruh orang-orang bertindak seperti itu. Enggak ada.

Orang yang menafsirkan Al-Qur’an sepotong-sepotong atau setengah-setengah dan tidak melihat ayat yang lain itu bagaimana? 

Wah, itu berarti dia kesalahan dalam memahami metode menafsirkan karena Al-Qur’an yufassiru ba’dluhu ba’dlan; Al-Qur’an itu saling menafsirkan satu ayat kepada ayat yang lain, yaitu perkataan ulama ahli tafsir. 

Di dalam ayat Al-Qur’an ada, fa anzalna dzikra litubayyina linnasi; kami menurunkan kepada kamu Al-Qur’an ini supaya kamu menjelaskan; jadi ayat Al-Qur’an itu global-global saja. Bagian Nabi itu adalah menjelaskan. Orang seperti itu, tidak melihat hadits-hadits Nabi. Orang seperti Ibnu Mujmam. Ada hadits la yahillu, tidak halal darahnya seorang Muslim kecuali dengan tiga sebab, yang satu qathlu nahs, membunuh orang lain. Kedua karena zina muhsan, yang ketiga karena murtad. Jadi tiga itu saja. Kenapa Ibnu Muljam tidak merujuk hadits ini? Orang diperbolehkan membunuh orang lain itu hanya itu saja. Jadi, ada batasan-batasan tertentu. 

Khulafaur Rasyidin juga banyak hasil musyawarah. Kalau seandainya ada yang diketahui dari Nabi, langsung dikemukakan. Kalau seandainya tidak diketahui, dimusyawarahkan. Al-ittifiaqu sahabah, hujjah (kesepakatan para sahabat Nabi bisa dijadikan dalil)Ada ilmunya begitu. 

Itu sudah diprediksi oleh Nabi, akan ada kelompok orang yang dia itu goyang kaki saja kemudian dia mengatakan, "saya hanya berhukum dengan Al-Qur’an saja". Kalau begitu kan salah juga karena Allah percayakan untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an baik melalui qaul (perkataan), maupun fi’li (perbuatan).

Kenapa di awal sejarah Islam melahirkan orang seperti kan masih dekat dan pernah mengalami bersama Nabi? 

Jadi, setelah perang Hunain, tahun kedelapan hijriah; itu nabi bisa mengatasi pemberontakan orang Hunain, Tsaqif. Nabi banyak mendapatkan hewan, untanya banyak, kambingnya banyak. Kemudian Nabi membagikannya. Semuanya dibagikan. Nabi tidak membawanya sama sekali. Akhirnya ada orang yang nyeletuk di hadapan Nabi, didengarkan. "Wah, Nabi enggak beres nih, Nabi enggak adil." Nabi menanggapi; "Siapa lagi yang adil kalau Rasulullah tidak adil? Kamu tahu tidak, saya bagikan kepada mereka supaya mereka mau masuk Islam." Nah, (terhadap) orang yang nyeletuk itu, dikatakan (Nabi), akan muncul dari keturunan orang itu, yang keras-keras, lupa juga namanya. 

Kenapa Nabi waktu itu dianggap tidak adil?

Karena Nabi tidak membagikan harta rampasan perang Hunain untuk mereka yang berperang. Tidak ada yang dibagi. Hanya orang-orang tertentu, sahabat yang tidak ikut berperang. Sahabat yang ikut perang tidak usah mendapat bagian lagi. Nabi memahami semuanya. Nabi berkata, “Kamu dulu kafir, siapa yang mengislamkan kamu.” Semuanya pada nangis. Ya sudah, kami akan berpulang bersama Nabi. Kemudian, setelahnya itu munculnya Ibnu Muljam dan yang lain-lain karena Nabi prediksinya seperti itu. 

Jika saat ini orang seperti dia masih ada dan jumlahnya mungkin banyak, apakah mungkin ada pihak yang membuatnya selalu ada? 

Ya, ada, ada. Jadi, ada kekosongan pada tingkat kelas menengah, yang harus diisi, ada pihak yang memberikan wejangan kelas menengah. Mereka tertarik pada orang yang bisa membaca Al-Qur’an, tahu hadits, ceramahnya memikat, akhirnya hijrah. Tapi kalangan menengah ini tidak mempunya basis pengambilan keputusan dari Al-Qur’an dan hadits. Jadi akhirnya muncul pemikiran-pemikiran radikal itu. Dan mereka tidak mempunyai mahaguru yang mengarahkan. 

Kembali lagi ke masalah tadi, apa hikmah Allah dalam membuat Al-Qur’an yang memungkinkan orang memahaminya secara sepotong-spotong? 

Jadi begini ya, Al-Qur’an itu kan ada konteks turunnya, ada konteks ayat; seperti Al-Maidah 50. Ini konteksnya mereka yang meminta hukum kepada selain nabi. Konteksnya ini Yahudi dan Nasrani kemudian kaum Muslimn. Hal yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam mereka ingin mencari hukum lain, selain hukum Islam dalam hal syariat, seperti orang Yahudi itu. Mereka kalau berzina muhsan (orang yang yang sudah bersuami atau beristri melakukan zina), mereka ingin mencari agar supaya hukumannya tidak berat. Kalau hukuman yang sebenarnya itu adalah dirajam. Yang kedua, hukum yang lain itu cuma dicoreng-corengg saja. Itu berarti orang yang mencari hukum selain hukum Allah, konteksnya orang Yahudi, Nashrani. 

Bahwa di Indonesia belum bisa seperti itu karena ini kan kesepakatan, daulah kesepakatan, darul mu’ahadah. Kemudian kita melihat pelaksanaan hukum itu, berkaitan dengan pidana itu tidak gampang karena berkaitan dengan darah. Di Indonesia itu kan berbagai macam suku, berbagai macam agama, kesepakatannya bagaimana? Jadi, kita itu harus yakin bahwa yang terbaik itu hukum Allah, tapi kalau ada situasi dan kondisi seperti ini, maka tidak harus memaksa seperti itu. 

Kita yang penting bahwa orang yang salah itu harus dihukum, itu saja. Produk hukumnya apa? Ya terserah. Ya apa saja. Orang yang mencuri dihukum, korupsi dihukum, orang zina dihukum. Di Indonesia orang yang berzina tidak dihukum, itu tidak sesuai. Tapi jangan langsung bahwa ini jahiliyah. Orang kalau ingin amar ma’ruf nahi munkar, tanamkan dahulu amar ma’rufnya. 

Ada empat tahapan kalau seandainya memberantas kemunkaran akhirnya bisa menghilangkan kemunkaran itu bagus. Kalau seandainya meminimalisir kemunkaran, itu bagus juga. Tapi kalau seandainya pemberantasan kemunkaran sama saja, itu jangan. Kalau seandaianya kita memberantas kemunkaran dan menimbulkan kemunkaran yang baru, tidak boleh. Haram itu. Ada bagian-bagian khusus pemerintah, polisi, itu bukan wewenang kita. Jadi, sebagian kelompok di Indonesia menghilangkan kemunkaran langsung oleh masyarakat; seharusnya kita tekan pemerintah untuk ikut terjun. 

Bagaimana Abdurrahman bin Muljam memahami wa man lam yahkum bima anzalallah itu? 

Salah dia itu. Salah dia itu. Wa man lam yahkum itu, pertama adalah ayat itu wa ulaika humul kafirun. Kafir di situ, menurut Ibnu Abbas, kufrun duna kufrin. Artinya bukan kufur yang sampai orang keluar dari Islam. Tidak. Kata Ibnu Abbas sendiri. Salah seorang sahabat Nabi itu.         

Menghukumi kafir itu tidak gampang. Apa kita setiap orang mempunyai hak untuk mengkafirkan orang. Kan tidak gampang. Harus dipanggil dulu. Menurut saudara apa? Kalau dia mengakui hukum selain Allah lebih hebat, ya sudah, suruh taubat dulu, taubat, taubat. Setelahnya itu yang harus mengeksekusi siapa? Mahkamah. Sementara selain mahkamah kita tidak mempunya hak seperti itu.

Tidak boleh orang bertindak sendiri-sendiri meskipun sandarannya kitab suci? 

Tidak boleh. Tidak boleh. Tidak boleh. Karena ini berkaitan dengan darah. Darah itu yang melakukannya kekuatan tertinggi, pemerintah. Kalau pemerintah, ya harus melalui undang-undang. Nabi Sendiri yang melakukannya. 

Lalu, kenapa dia sampai pada pemahaman kafir dalam arti layak untuk dibunuh? 

Pengertian kafir di dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa beberapa arti. Ada kuffar yang artinya petani. Petani itu menimbun, menutupi biji dengan tanah. Kuffar itu. Ada kuffar di dalam Al-Qur’an yang berartikufur nikmat. Itu kufar juga. Lain syakartum laazidannakum, wa lain kafartum inna adzabi lasyadid. Orang kufur nikmat, kufur juga, seorang kafir juga. Tapi tidak sampai menjadikan orang itu, kafir yang keluar dari Islam. Jadi, harus berhati-hati betul. Hati-hati betul. Harus ngaji dulu tuh; kafir, kafir aja. 

Nabi sendiri menafsirkan atau memahami Al-Qur’an itu bagaimana? 

Nabi itu, menafsirkan Al-Qur’an teks dengan teks itu jarang. Tidak banyak. Yang lebih banyak, nabi menjelaskan melalui pekerjaannya, melalui fi’ilnya, af’alnya. Oleh amalinya. Shalat, itu penerjemahan dari Al-Qur’an, semua hukumnya Nabi adalah yang dia pahami dari Al-Qur’an. Semua sunah nabi itu adalah syarah (penjelasan) dari kitab-Nya. Nabi tidak secara sepesifik, ngaji kitab tafsir. Kitab tafsir tidak ada. Jadi, misalnya Nabi mengatakan, fawajada abdan; bilangan rakaat itu berapa, Nabi yang mengajarkan (dengan praktik). Haji, caranya puasa, zakat. Itu syarhun likitabillah (penjelasan terhadap Al-Qur'an). 

Jadi, tidak bisa Al-Qur’an saja. Enggak boleh. Itulah tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an sekenanya saja. Orang menafsirkan Al-Qur’an dari terjemahnya, salah lagi. Terjemahan itu tidak bisa merangkum ayat suci Al-Qur’an. Terjemah itu terbatas. Ungkapan untuk mengambil pemahaman dari ayat Al-Qur’an hanya dengan terjemahan bahasa Indonesia, tidak bisa. Rabbul ‘alamin, Tuhan semesta alam. Itu masih kurang. Rabbul ‘alamin itu berarti sayyidul ‘alamin, malikul ‘alamin, murabbil ‘alamin; yang mengurus, yang mendidik, yang mempunyai, yang menjadi sayid (tuannya); itu ada di situ. Alhamdu puji. Sana puji lagi. Madhu, puji lagi. 

Padahal berbeda antara al-madhu dan sana’u dan alhamdu itu berbeda. Sana’u kalau orang melihat orang lain baik. Kalau al-hamdu itu ada yang sampai pada syukur. Kalau mendapat kenikmatan dari orang lain, ya kita syukuri. Saya terima kasih kepadamu. Ya pujian juga. Berarti al-madhu itu. As-sanau, berbeda lagi. Wah, ada orang hebat banget, tampan banget, cerdas banget, itu namanya wa sana’u. Kalau al-hamdu itu dua-duanya. 

Supaya memhami Al-Qur’an tidak jatuh pada cara memahami seperti Abdurrahman bin Muljam bagaimana?

Ya harus belajar tafsir. Kita tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an seenaknya sendiri. itu tafsir bi ra’yi almadmum, tafsir dengan pikiran yang tercela.  Banyak itu,  tidak menggunakan ilmu-ilmu yang spesial dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sekenanya saja. Tafsir yang mengandalkan, menggunakan bahasa Arab saja, tak bisa juga. Kemudian tafsir bil-hawa, tafsir dengan hawa nafsunya sendiri saja. 

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/93446/kekeliruan-kekeliruan-dalam-memahami-kafir-dalam-al-quran
Share:

Patuh Guru dan Orang Tua, Modal Utama Kembangkan Pesantren


Ada ungkapan yang terkenal di kalangan para santri, menimba ilmu itu susah, sementara mengamalkan ilmu itu lebih susah. Tak sedikit santri cerdas, mudah paham kitab-kitab kuning, tapi ketika pulang ke rumah, ia tak mampu mengamalkannya. 

Ya, ilmu yang bermanfaat atau berkah itu lebih susah mendapatkannya karena terkait beragam faktor. Bagi kalangan pesantren, pertolongan Allah, restu guru dan orang tua merupakan faktor kunci. Jika itu tidak didapat, akan susah melakukannya, kalau tidak dikatakan mustahil.  

KH Hasan Nuri Hidayatullah merupakan salah seorang contoh santri yang berhasil memanfaatkan ilmunya. Ia mengakui, hal itu merupakan pertolongan Allah, doa, dan ridha guru berikut orang tuanya. Semuanya itu adalah modal utama. 

Bagaimana kisah KH Hasan Nuri Hidayatullah yang juga Ketua PWNU Jawa Barat mengamalkan ilmunya melalui Pondok Pesantren Asshiddiqiyah di Karawang?  Abdullah dari NU Online berhasil mewawancarai kiai kelahiran Banyuwangi itu di kediamannya, Kompleks Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3, Cilamaya, Karawang, 14 Juli lalu. 

Berikut petikannya: 

Bisa cerita bagaimana seorang kiai memulai mengembangakan pesantren di kampung orang?

Modal utamanya doa dari orang tua dan guru. Kalau itu sudah didapat, pintu-pintu yang akan kita lalui itu akan dimudahkan keterbukaan oleh Allah karena kadang-kadang dihitung dengan logika, di sini, saya 2001. Kalau sampai hari ini 17 tahun, kalau dibilang relatif singkat, ya singkat, kadang-kadang saya melihat hal yang ada sekarang ini, saya berpikir, apa iya, gitu. 

Ketika pertama datang ke sini, apa saja yang ada? Kondisinya bagaimana? 

Abah menyuruh saya ke sini, kalau dibilang perusahaan, ya perusahaan yang sudah collaps. Keppercayaan masyarakat drop. Santri ketika itu hanya ada kurang lebih, tak jauh dari 30 atau 40 mungkin. Bangunan-bangunan semuanya tripleks-tripleks. Bangun permanen hanya ada satu yang di putri, di putra hanya ada dua kobong kecil dengan satu masjid. Alhamdulillah sekarang, kalau ditotal, sekarang santri ada 1200 santri. 

Itu hanya Asshiddiqiyah 3? 

Semuanya, saya diamanati yang di sini. Saya kembangkan menjadi ada Asshiddiqiyah 4 untuk sekolah tinggi. Setahun ke belakang saya mengembangkan di Jonggol

Perguruan tinggi tahun berapa berdiri? 

Tahun 2010 . Asshiddiqiyah 3 ada dua, putri dan putra, Asshidiqiyah 4 hanya putra saja dan mahasiswa. Mahasiswanya 170 sampai 200. 

Oh ya, tadi menyebut ridha guru dan orang tua. Bagaimana cara mendapatkannya? 

Pada dasarnya manut. Mohon maaf, pesantren ini ada sejak 1992. Itu sudah orang yang diamanati abah di sini ini  yang kelima. Banyak enggak betah. Karena kondisina di kampuung. Secara lahir, tidak menariklah. Orang berkarir di organisais di sini, tidak mendukung, bisnis juga tidak menarik, jauh di mana-mana, repot jangkauannya. Makanya banyak tak kuat di sini. Belum lagi dinamika kehidupan di pedasaan dan di kota kan berbeda. Kalau di kota mungkkin hdupnya individualis ya sehingga apa yang dilakukan oleh orang itu cuek. Nah, kalau di kampung itu, kiai dinilai. Harus agak ekstra hati-hati karena masyarakat kampung ini masih mempunyai kepeduliaan sehingga apa yang terjadi pada tokohnya itu selalu diperhatikan. Kadang-kadang seseorang yang dikatakan kiai atau haji atau ustadz, Shalat Jumat tidak di depan aja menjadi bahan, kok pak haji tidak di depan. Ini di kampung itu jadi hati-hati. 

Apa pesan yang paling dipegang dari guru dan orang tua? 

Saya cuma manut saja. Guru nyuruh wiridan ini, ya dikerjain. Kalau tidak disuruh berhenti, ya terus.  Gitu saja. Kalau orang tua ya, pesan mereka kan sederhana, jadi wong sing jujur, amanah. Normatif sebenarnya. Hanya mungkin saya menerima pesan orang tua itu sebagai hal istimewa buat saya. Psan orang tua dan guru normatif sebenarnya. 

Tadi disebutkan sebagai kiai yang kelima. bagaimana supaya tidak mengulang kegagalan kiai sebelumnya? 

Saya dengan sederhana saja. Saya dulu dengar katanya kalau kita dekat dengan masayarakat A, manyarakat B ini tidak senang. Saya dengar berita itu, justru saya jadikan bahan. Keduanya saya datangi. Saya ajak diskusi, saya mintai saran. 

Justru yang pertama itu bersama masayarakat dulu?

Saya rangkul semunya. Saya kadang-kadang, bawa apa, bawa ke kampung makan bareng-bareng di  sana. Sama orang-orang sehingga menghilangkan sungkan dululah.

Awal-awal, saya tidak masuk PCNU. Waktu itu belum masuk PCNU. Waktu itu saya hanya dekat dengan teman-teman NU karena sering saya silaturahim. Jadi, masyarakat dikunjungi, tokoh-tokoh, termasuk di NU. Lalu menyapa masyarakat dengan pengajian umum.

Pengajiian untuk masyarakat umum mulai kapan? 

Pada 2002 saya langsung mengadakan pengajian. Sambil silaturahim ya sambil mengaji. 

Mula-mula ada berapa orang?

Dua, tiga, awal-awal di teras rumah ngajiinya. 

Tapi terus berjalan?

Tetap jalan. 

Sekarang per minggu berapa orang yang ngaji? 

Ya kalau cuacanya bagus, orang-orang banyak yang kosong kegiatan, tidak ada hajatan, kadang sampai seribu. Di depan itu full itu. Apalagi pas maulid. Semuanya allah. Kita ini, tanpa pertolongan allah tidak apa-apa. 

Kembali ke masalah pesantren, bagaimana meningkatkan santri? 

Ya, mulai tahun itu juga menambah sedikit, itu mulai banyak agak membludak, itu ketika saya mau mempunya anak kedua, sekitar tahun 2007. Santri yang ada sekarang 1200. 

Karena kita pesantren ini. sama saja, sekolah formal, sore ngaji, malam ngaji, berjamaah wajib, anak-anak diajak baca Ratib. Sama saja. Karena saja tidak punya hal yang istimewa, jadi tak ada yang istimewa yang bisa saya ceritakan. Jadi, paling tidak, mengurangi membebani pikiran, punyanya SDM ya itu, punya teman-teman mampunya ya itu. Kira-kira teman mampu, kita perjuangkan. 

Lembaga pendidikannya apa saja? 

Tsanwiyah ada, Aliyah ada, SMK ada, SMA ada, MI ada. 1200 semuanya. Yang tidak ngobong hanya MI saja. semuanya tinggal di sini.

Santri kalong? 

Santri kalong yang ngaji malam kamisi itu saja. orang tua. Saya tingkatkan kemudian karena semakin sedikit waktu bersama teman-teman, bersama masyarakat, saya bikin kegiatan yang bersifat massal. Pesantren melakukan kegiatan bedah mushala. Jadi saya kirim orang, cari mushala yang kira-kira doyong, kita perbaiki. Pas peresmian kira ngumpul bersama masyarakat. Kita biayai mushalanya sampai selesai. Itu alhamdulillah sudah berjalan, kurang lebih 18 mushala. 

Sejak kapan? 

Dua tahun belakang ini.  dulu bedah rumah, tapi karena hanya mmanfaatkan satu orang, kalau banyak kan berat, kalau mushala kan satu, tapi dimanfaatkan banyak orang. 

Biayanya? 

Bareng-bareng saja. para jamaah iuran, ditambahin dari kita, teman-teman dari donatur, punya toko matrial, yang punya semen, tukangnya yang bekerja orang kampung. Mushala-mushala sekitar sini. Yang jauh-jauh ada di Subang ada, satu. 

Ohya, melakukan itu mulai pada usia berapa? 

Saya 2001 berusia 23 tahun dan saya belum menikah. Saya diambil mantu oleh Kiai Nur setelah saya setahun setengah di sini. Saya ditaroh di sini, yang penting iya, karena yang nyuruh guru. Saya juga tak pernah mikir diambil mantu apa enggak, yang penting ngikuti guru saja. 

Dulu saya saya sekolah Tsnawiyah dan Aliyah di sana, mesantren di Jakarta, tahun lulus 1992. Tamatan 1999. Setelah itu saya ke Madinah 4 tahun. Mesantren tidak kuliah, Habib Zen bin Smith, ia ipar-iparan dengan Habib Umar Al-hafidz. Istrinya Habib Zen dengan istrinya Habib Umar itu kakak beradik. Banyak orang Indonesia ada 60-an satu angkatan. Banyaknya para habaib. 

Share:

Banser Difitnah, Ansor Pamekasan Keluarkan Sikap Resmi


Pamekasan, NU Online
Saat ini, baik di medsos maupun di dunia nyata, Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Kabupaten Pamekasan sedang ditimpa fitnah. Itu seiring dengan beredarnya foto anggota Banser yang di dadanya terdapat identitas bernama Farid dan ditulis beralamat di Desa Bangkes, Kadur, Kabupaten Pamekasan.

Di samping itu, Farid juga disinyalir putra kiai dan menebar kebencian terhadap ormas tertentu. Yakni, Front Pembela Islam (FPI)

"Saya selaku Ketua Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Pamekasan setelah melakukan proses penyelidikan internal secara menyeluruh, dengan ini mengeluarkan tiga pernyataan resmi," tegas Ketua PC GP Ansor Pamekasan, Fathorrahman.

Pertama, di Desa Bangkes bahkan di seluruh Kabupaten Pamekasan tidak terdapat anggota Banser yang wajah dan namanya sesuai atau mirip dengan foto yang beredar medsos tersebut, sehingga berita bahwa oknum Banser tersebut orang Bangkes itu fitnah dan hoaks.

Menurutnya, itu sengaja disebar oleh oknum tertentu yang oleh Fathor dicurigai motif penyebarnya untuk mengadu domba antara Banser Pamekasan dengan FPI.

"Kedua, saya perintahkan kepada seluruh personel Banser Pamekasan baik di tingkat Satkorcab, Satkoryon, bahkan Satkorwil agar coolingdown dan tidak terprovokasi dengan isu-isu yang tidak jelas. Namun, tetap waspada dan siaga serta tetap dalam satu komando sesuai dg Sapta Prasetya Anggota Banser untuk menjaga kondusivitas Pamekasan," tegasnya.

Ketiga, Fathor telah memerintahkan kepada Kasatkorcab Banser Pamekasan agar melakukan langkah-langkah pencegahan dan persuasif, serta melaporkan semua hasil pantauannya secara periodik.

"Demikian pernyataan resmi saya selaku Ketua Ansor Pamekassn untuk diteruskan kepada seluruh personel dan anggota Ansor dan Banser se Kabupaten Pamekasan," pungkasnya. (Hairul Anam/Muiz)

Share:

Pages

Follower

Popular Posts

Label

Recent Posts

Unordered List