Seorang kiai yang memiliki latar belakang tarekat, maka sedikit banyak santri yang menimba ilmu padanya akan linuwih dalam bidang olah jiwa.
oleh: Muhammad Syamsudin
Ketika kita berbicara mengenai kiai, maka seolah kita sedang digiring untuk berbicara mengenai sebuah status sosial yang berlaku di masyarakat. Kiai merupakan sebuah istilah yang dipergunakan untuk menyebut orang yang dituakan di tengah kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional Jawa. kiai dikenal sebagai sebuah panggilan yang menyatakan sebuah kelebihan yang dimilikinya.
Kelebihan ini, adakalanya berbentuk sebuah pengakuan akan kealiman dan kebijaksanaannya, namun kadangkala pula menyatakan sebuah daya linuwih yang dimilikinya. Itulah sebabnya, dalam kultur masyarakat Jawa tradisional, sebutan kiai tidak hanya disematkan pada orang atau individu tertentu saja, melainkan juga pada benda pusaka atau binatang tertentu yang diyakini memiliki daya linuwih itu.
Apabila sebutan kiai disematkan pada orang, umumnya istilah ini menyatakan akan kealiman, kebijaksanaan yang dimiliki seiring diri individu tersebut menjadi pembimbing dan pamong masyarakat. Ketika masyarakat menemukan adanya persoalan, maka rujukan utama yang dikehendakinya sebagai pemberi solusi, adalah kiai. Tanpa keberadaan watak kealiman dan kebijaksanaan ini, seseorang sulit untuk dipanggil sebagai kiai. Bahkan, andaikata ia memiliki daya linuwih, masyarakat Jawa acapkali hanya menyematinya sebagai mbah atau pinisepuh saja. Pinisepuh merupakan istilah yang menyatakan seseorang yang disepuhkan dalam masyarakat.
Adanya bekal kealiman dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan persoalan kehidupan di tengah masyarakat, mengisyaratkan bahwa sosok kiai memiliki wawasan yang luas. Keluasan wawasan ini mencakup wawasan dalam ilmu fiqih, ilmu tasawuf, ilmu adab, ilmu kenegaraan dengan topangan kemampuan dalam bidang ushul fiqih. Seluruh wawasan ini merupakan bekal utama diri sosok pribadi tersebut dipandang dan diakui sebagai seorang yang bijaksana (ahli hikmah). Karena kebijaksanaan yang dakui masyarakat inilah, pada akhirnya membawa sosok kiai sebagai memegang peranan yang sangat penting di masyarakat.
Penting untuk diketahui bahwa peranan penting kiai ini adalah peran yang diberi dan bukan sebagai peran yang dicari. Yang memberi legalitas adalah masyarakat dan bukan semata karena lamanya dirinya belajar. Jadi sangat lain dengan peranan yang diperoleh dari hasil bersekolah atau menempuh lembaga pendidikan formal tertentu. Oleh karena itu, kiai bukanlah sebuah label yang semata disematkan begitu saja karena pendidikan yang pernah ditempuhnya, melainkan label itu lahir atas dasar pengakuan kebijaksanaannya oleh masyarakat. Imbasnya, setiap kiai, selalu memiliki pengikut.
Pengikut yang tinggal dan menimba ilmu padanya disebut dengan istilah santri. Dan karena pengakuan sifat bijak kiai itu adalah lahir dari pola dan perilakunya sehari-hari, maka langkah untuk menyerap ilmu bijak dari kiai ini, muncul yang namanya istilah mengabdi (khidmah). Walhasil, berguru kepada kiai, itu sama artinya dengan belajar qaulan, wa fi’lan, wa adaban (perkataan, perbuatan dan tata krama sosial) serta taqriran / hikmatan (hikmah kebijaksanaan).
Ketika seorang kiai menyatakan sebuah penyikapan terhadap fenomena sosial yang dihadapi, di situ seorang santri berperan sebagai yang belajar menyerap bagaimana sikap sosial kiai itu lahir. Itulah sebabnya, seorang santri yang berguru kepada kiai, umumnya ciri khas dan watak sosialnya banyak dipengaruhi oleh latar belakang dari kiai itu. Seorang kiai yang berlatar belakangnya pembina pesantren, maka santri yang menimba ilmu kepadanya, sedikit banyak akan mempelajari bagaimana mengelola sebuah lembaga pendidikan (manajemen).
Seorang kiai yang memiliki latar belakang tarekat, maka sedikit banyak santri yang menimba ilmu padanya akan linuwih dalam bidang olah jiwa. Demikian pula, kiai yang berlatarbelakangkan mimbar atau kancah politik, maka seorang santri yang berguru padanya akan banyak memiliki watak terjun dalam kancah perpolitikan pula. Meskipun hal sebagaimana disebutkan ini tidak berlaku baku, namun watak santri yang mengikuti dan berguru padanya tidak akan jauh dari watak dan sikap kebijakan kiai ini.
Watak sebagaimana disebutkan di muka dapat kita contohkan misalnya adalah relasi antara Mbah Wahab Hasbullah dan Mbah Hasyim Asy’ari. Mbah Wahab secara geneologis keilmuan masih mewarisi keilmuan dari Mbah Hasyim. Karena Mbah Hasyim memiliki corak sebagai kiai yang gemar berorganisasi dan bertarekat, maka lahir pula santri yang memiliki watak gemar berorganisasi dan bertarekat sebagaimana Mbah Wahab Hasbullah. Inilah bagian dari relasi geneologis keilmuan kiai-santri itu.
Karena seorang kiai hidup di tengah masyarakat dan mendapatkan pengakuan gelar dari masyarakat pula, maka corak yang terbentuk pada masyarakat yang berada di sekeliling kiai, umumnya juga banyak dipengaruhi oleh corak kiai yang membimbingnya. Masyarakat yang hidup di sekeliling kiai dengan latar belakang tarekat, akan menunjukkan nuansa yang condong dan syarat dengan kehidupan sufistik. Walhasil, masyarakat yang berada di sekeliling kiai, seolah merupakan pengikut.
Dalam istilah tradisi pesantren, dikenal dengan istilah santri kalong. Istilah ini lahir dari kebiasaan santri yang datang ke pesantren atau mengaji ke tempat kiai pada malam hari atau waktu tertentu, kemudian pulang ke rumah masing-masing setelah mengaji selesai, atau pulang pada pagi harinya untuk bekerja sebagaimana layaknya masyarakat umum lainnya. Ia bekerja di sawah, ladang, atau perkantoran. Ketika malam atau sore hari tiba, ia kembali ke pesantren untuk menimba ilmu kembali.
Masyarakat yang digambarkan sebagai santri kalong ini adalah bagian dari pengikut kiai juga. Dan umumnya mereka memiliki watak militansi yang kuat dalam melindungi kiai sebagai orang yang dituakan dan dijadikan pamomong oleh mereka. Dengan demikian, pengikut seorang kiai tidak hanya terdiri dari santri yang ada dan tinggal di pesantren saja, melainkan juga masyarakat sekitarnya dan memberikan legitimasi terhadap status sosial kesantrian tersebut. Inilah modal besar bagi seorang kiai, ketika ia mampu menjadi pemimpin dan pembimbing masyarakat. Dari sini kelak timbul watak dan sikap politik kiai.
Sikap politik ini lahir seiring seorang kiai harus menggunakan keilmuannya untuk memberikan solusi kepada masyarakat terkait dengan fenomena kenegaraan dan kebangsaan yang harus ditimbang dengan arif dan bijaksana. Bagaimana relasi kiai-santri ini dalam membentuk watak dan sikap kebangsaan, kelak kita akan uraikan dalam tulisan-tulisan berikutnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Muhammad Syamsudin,
Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.