Iker Cassilas (kiri) dan Jose Mourinho (kanan).
Sang kiper legendaris resmi mengakhiri pengabdian 25 tahun di Santiago
Bernabeu. Namun, masa edar Iker Casillas sebenarnya sudah berakhir sejak
rezim Jose Mourinho dimulai.
Ada ironi terselebung ketika sebuah klub yang menjadi “tempat kelahiran” Jose Mourinho saat ini berubah menjadi “tempat pemakaman” bagi salah satu lawan tersengitnya. Sang lawan yang dimaksud, Iker Casillas, kini terpaksa harus menghabiskan karier senjanya di Porto, di bawah bayang-bayang orang yang mengawali kejatuhannya. The Special One tiba di Real Madrid pada 2010 ketika Casillas sedang berada di puncak kariernya, namun kini ia telah tercampakkan sepenuhnya.
Di dalam perut Estadio do Dragao terkandung warisan Mourinho yang tak lekang oleh zaman melalui poster, banner, mosaik stadion, chant,
dan yang paling krusial adalah trofi. Di bawah atap Porto yang sudah
seperti sebuah museum untuk Mourinho, Casillas harus menjalani masa-masa
final dalam kariernya.
Adalah Mourinho yang pertama kali mempertanyakan kapabilitas
Casillas. Dialah yang pertama kali mengganggu otoritas sang kiper dan
mengirimnya ke bangku cadangan. “Apa yang akan saya ubah jika saya
berkesempatan kembali ke tiga tahun lalu? Saya seharusnya memboyong
Diego Lopez setelah tahun pertama saya di Madrid. Kami tidak cukup
berusaha untuk mendatangkannya, ini menyedihkan,” ujar Mou pada 2013
yang tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia berperan dalam proses
penggulingan Casillas di Madrid.
Mourinho memiliki kecenderungan untuk menulis kembali
sejarah. Komentar jahat Mourinho tersebut seakan mengkhianati Casillas
yang tampil apik di tahun pertama kebersamaan mereka. Saat itu, Casillas
masih berusia 30 tahun dan sedang berada di puncak performa setelah
mengangkat Piala Dunia dan melanjutkan kegemilangannya di musim 2010/11,
namun Madrid harus puas finis runner-up di La Liga Spanyol, empat poin di belakang tim super Barcelona besutan Pep Guardiola.
Eliminasi di semi-final Liga Champions oleh lawan yang sama, yang memperpanjang penantian La Decima,
memberikan tekanan kepada Mourinho. Beruntung, sang pelatih
terselamatkan berkat trofi Copa del Rey yang hanya bisa dicapai berkat
kegemilangan Casillas. Kiper ber- caps 162 ini melakukan penyelamatan yang tak terhitung jumlahnya di Mestalla. Pelatih kiper Silvino Louro menyebut finger-tip Casillas terhadap sepakan Andres Iniesta di final tersebut sebagai momen penyelamatan terbaik yang pernah ia lihat.
Casillas begitu bagus, sampai-sampai Mourinho menyanjungnya
sebagai kiper terbaik di dunia pada 2011 dan mendukung sang kapten untuk
mencaplok Ballon d’Or yang pada tahun itu dimenangi Lionel Messi. Meski
gagal merengkuh Ballon d’Or, Casillas tetap mendapat penghargaan
sebagai kiper terbaik di dunia versi IFFHS untuk yang keempat kalinya
secara beruntun.
Di musim 2011/12, Madrid berhasil merebut titel La Liga
setelah hanya kalah dua kali sepanjang musim dan memecahkan rekor 100
poin. Casillas sendiri hanya kebobolan satu gol lebih sedikit dan
mencatatkan satu clean sheet lebih banyak ketimbang musim
sebelumnya. Enam bulan berikutnya, di musim terakhir Mourinho,
pengasingan Casillas dimulai. Terlepas dari protes besar para fans
Madrid, benih-benih ketidakharmonisan kedua insan mulai terasa.
Mourinho bukan cuma mencermati penurunan performa Casillas
yang kerap ceroboh di lapangan, tetapi juga takut dengan kekuasaan sang
kiper yang dikenal vokal di ruang ganti. Mourinho juga merasa tidak
nyaman dengan kehadiran pacar Casillas -- jurnalis olahraga Sara
Carbonero -- yang bisa mencuri informasi internal Madrid. Mourinho pun
mengontrol sepenuhnya ruang ganti Madrid. Namun di dalam diri Casillas
pula, Mou mendapati seorang pemain yang bisa menggoyahkan dirinya.
Dalam dua musim awal, kedua insan sempat beradu argumen
terkait beberapa isu. Seperti filosofi serangan balik Mourinho yang
cenderung mengarah ke taktik negatif, hingga penerapan trik-trik kotor
yang merusak harmoni timnas Spanyol seiring duel El Clascio kerap berubah menjadi ajang gulat panas nan kontroversial.
Colokan mata terhadap Tito Vilanova dan penggemblengan
mentalitas pragmatis kepada pemainnya ternyata belum cukup memuaskan
hati Mourinho. Seiring terus menerapkan “ilmu gelapnya” di Madrid,
Mourinho juga ingin mencopot ban kapten Casillas untuk diberikan kepada
pemain outfield yang bisa mudah berdebat dengan wasit dan
mempengaruhinya. Padahal, ban kapten Madrid secara tradisional harus
diberikan kepada pemain yang punya masa bakti terpanjang, dalam hal ini
Casillas.
Jelang dimulainya Euro 2012, Casillas merasa identitas
Madrid yang dibentuk Mourinho tersebut memberikan efek negatif kepada
timnas Spanyol. Casillas kemudian memanggil Xavi dan Carles Puyol untuk
meredakan suasana panas Madrid-Barca dengan bermaaf-maafan. Namun,
Mourinho merasa tindakan tersebut adalah sebuah pertanda kelemahan yang
mengancam Madrid. Pada akhirnya, kamp latihan Spanyol kembali harmonis
dan La Roja berhasil merengkuh trofi lagi.
Pada Desember 2012, Mourinho membuat sebuah keputusan yang
ia klaim sebagai “100 persen keputusan teknis” dengan membangkucadangkan
Casillas dan memainkan kiper akademi berusia 25 tahun yang baru tiga
kali tampil starter di La Liga, Antonio Adan, ketika melawan Malaga.
Madrid kalah dari Malaga dan mereka terus tertinggal dari Barca seiring
kabar negatif terus muncul di koran-koran. Marca, misalnya,
menerbitkan laporan detail terkait kekacauan di sesi latihan Madrid yang
menunjukkan Mourinho sedang berkonflik dengan Casillas.
Perekrutan Diego Lopez pada Januari 2013 lantas menambah
bumbu cerita. Madridista mencela Mourinho karena terus melengserkan
Casillas, namun pelatih asal Portugal itu langsung meresponsnya bahwa
Madrid berhasil meraih 39 dari 48 poin yang tersedia di saat Lopez yang
duduk di mistar gawang.
“Saya lebih menyukai Diego Lopez sebagai kiper ketimbang
Casillas. Ini bukan karena faktor personal. Saya menyukai kiper yang mau
keluar dari sarangnya yang tangguh di udara dan bisa bermain
menggunakan kakinya,” jelas Mourinho. Apa yang diucapkan Mou itu ada
dasarnya. Di musim itu, Lopez mencatatkan 1,81 tangkapan per laga,
sedangkan Casillas hanya 0,94. Persentase penyelamatan Lopez juga unggul
13,3 persen ketimbang Casillas – membuat Lopez berada di posisi keempat
dalam daftar kiper terbaik La Liga musim itu, sedangkan Casillas
terperosok di posisi 24.
Kata-kata yang terus meluncur dari mulut Mourinho makin hari
makin tidak disukai oleh pemainnya sendiri. Sergio Ramos menjadi yang
paling bersuara lantang, sementara Pepe -- yang kerap dinilai merupakan
sekutu Mourinho karena faktor kesamaan negara dan gaya bermainnya yang
licik -- ternyata juga mengkritik komentar sang pelatih. Pepe, bersama
Ramos dan Casillas, dirumorkan meminta Florentino Perez untuk memilih di
antara mereka bertiga atau Mourinho.
Perez akhirnya lebih memilih bersama para pemain. Carlo
Ancelotti kemudian datang sebagai suksesor Mourinho, namun tetap
menempatkan Lopez sebagai kiper utama. Kendati Casillas berhasil
membuktikan diri kepada Mourinho bahwa dirinya berhasil mempersembahkan La Decima,
sang kiper tak bisa menampik fakta bahwa ia bersalah terhadap gol
pembuka Diego Godin yang nyaris membuat Atletico Madrid keluar sebagai
pemenang. Ketika berturut-turut Sergio Ramos, Gareth Bale, Marcelo, dan
Cristiano Ronaldo akhirnya mampu membalikkan keadaan, tampak ada
kelegaan luar biasa di wajah sang kapten.
Selama beberapa waktu, ditepikannya Casillas oleh Mourinho
selalu digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi, bentrok antara
dua ego. Namun, performa jeblok sang kiper pada musim panas lalu di
Brasil, terutama saat Spanyol dihantam Belanda 5-1, membuat suporter
Madrid mulai berani melawan Casillas, sosok yang dulu menjadi pujaan.
Fans Madrid berpikir dalam hati, mungkin selama ini Mourinho benar.
Musim 2014/15 dilaluinya dengan siulan dan cemoohan dari publik Santiago
Bernabeu seiring Madrid hanya sanggup meraih gelar minor, yakni Piala
Dunia Antarklub dan Piala Super Eropa.
Di waktu yang bersamaan, mencuatlah nama David De Gea yang
ironisnya merupakan klien dari agen Mourinho, Jorge Mendes. Casillas
mungkin boleh unggul atas juniornya itu di level internasional, namun
kiper Manchester United itu sejak lama dipandang sebagai pewaris takhta
Casillas. Refleks cepat De Gea dan pengalaman matangnya di Inggris
mengingatkan publik pada kemampuan Casillas muda.
Pertanyaan kuncinya adalah, apakah Mourinho memang sudah
memprediksi kemerosotan Casillas atau Mourinho sendiri yang
menyebabkannya. Jawabannya mungkin terletak di tengah-tengah. Dominasi
kiper berusia 34 tahun itu tidak akan berlangsung selamanya. Andai
Mourinho tidak pernah melatih Madrid sekalipun, Los Blancos
tetap harus mencari suksesor Casillas. Mungkin saja Casillas bisa pergi
dengan kepala lebih tegak jika tidak ada perang dengan Mourinho.
Mourinho boleh saja menemukan titik lemah pada pertahanan
Casillas dan menjatuhkannnya dari kemasyhuran. Namun, jika masih ada
kehidupan di dalam diri sang singa terluka, Casillas tidak punya tempat
yang lebih sempurna untuk membuktikannya: Porto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.