Ketika itu Imam Junaid al-Baghdadi, Seorang ulama tasawuf terkenal dari Baghdad, Irak. mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ibadah haji telah ia lakukan, namun orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya.
“Dari mana Anda?” tanya Imam Junaid.
”Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?” orang itu menimpali.
”Jadi, Anda benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?”
”Tentu, Imam. Saya telah menunaikan haji.”
”Apakah Anda sudah janji akan meninggalkan dosa-dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?”
“Tidak, Imam. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”
“Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” tegas Imam Junaid. “Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?”
“Itu semua tak terlintas di benak saya.”
“Berarti Anda tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya.”
“Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Imam Junaid lagi.
“Tidak, Imam. Saya juga tak pernah berpikir demikian.”
“Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram,” Imam Junaid menyayangkan. ”Saat Anda Wuquf (berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”
”Tidak. Saya tak mendapat pengalaman (spiritual) apa-apa.”
Imam Junaid sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jamaniah.
“Imam, saya pun tak memikirkan hal itu.”
“Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.” Lantas Imam Junaid bertanya, “O, kalau begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yang Anda tangkap sekilas saat Thawaf, mengitari Ka’bah.”
“Tidak ada, Imam. Sekilas pun saya tak melihat.”
“Sama artinya Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali.” Lalu, “Ketika Sa’i, lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?”
“Tidak.”
“Berarti Anda tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”
“Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Imam.”
“Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa.” “Lalu, ketika Anda melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”
“Tidak juga, Imam.”
“Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.”
Dengan nada menyesal, Imam Junaid menyergah, “Pergi, tunaikan haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:
“Wa ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan janji.”
“Dari mana Anda?” tanya Imam Junaid.
”Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?” orang itu menimpali.
”Jadi, Anda benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?”
”Tentu, Imam. Saya telah menunaikan haji.”
”Apakah Anda sudah janji akan meninggalkan dosa-dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?”
“Tidak, Imam. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”
“Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” tegas Imam Junaid. “Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?”
“Itu semua tak terlintas di benak saya.”
“Berarti Anda tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya.”
“Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Imam Junaid lagi.
“Tidak, Imam. Saya juga tak pernah berpikir demikian.”
“Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram,” Imam Junaid menyayangkan. ”Saat Anda Wuquf (berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”
”Tidak. Saya tak mendapat pengalaman (spiritual) apa-apa.”
Imam Junaid sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jamaniah.
“Imam, saya pun tak memikirkan hal itu.”
“Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.” Lantas Imam Junaid bertanya, “O, kalau begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yang Anda tangkap sekilas saat Thawaf, mengitari Ka’bah.”
“Tidak ada, Imam. Sekilas pun saya tak melihat.”
“Sama artinya Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali.” Lalu, “Ketika Sa’i, lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?”
“Tidak.”
“Berarti Anda tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”
“Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Imam.”
“Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa.” “Lalu, ketika Anda melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”
“Tidak juga, Imam.”
“Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.”
Dengan nada menyesal, Imam Junaid menyergah, “Pergi, tunaikan haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:
“Wa ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan janji.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.