Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa beberapa bulan terakhir ini, Cina begitu aktif memperkuat armada perangnya di dekat kepulauan Natuna. Bahkan menurut kabar terakhir, Cina telah membangun pangkalan militer berupa landasan pacu untuk pesawat-pesawat militernya. Hal itu dilakukan karena Cina ingin merebut kepulauan Natuna dari pangkuan RI. Bahkan jauh sebelumnya, Cina sudah mengklaim secara sepihak bahwa kepulauan Natuna adalah sebagai bagian dari wilayahnya.
Kejadian di atas tentu saja mengundang reaksi keras dari pihak Indonesia. Karena menurut hukum internasional yang sah, kepulauan Natuna merupakan bagian dari wilayah NKRI yang tentu saja akan dipertahankan mati-matian. Dengan mengklaim secara sepihak, berarti Cina ingin merongrong kedaulatan NKRI. Jika tidak bisa diselesaikan secara baik-baik, maka peranglah menjadi jalan terakhir untuk menyelesaikannya.
Demi mengantisipasi aksi-aksi militer dari pihak Cina, TNI telah memperkuat armada militernya di kepulauan Natuna berupa penambahan beberapa kapal perang. Berikut sekilas infonya:
Laut China Selatan makin memanas. Kondisi ini memaksa TNI mengirimkan armada tempur ke Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau (Kepri). Selain patroli pesawat tempur dari Lanud Pekanbaru, TNI juga mengirimkan tujuh kapal perang untuk menjaga kedaulatan NKRI dari ancaman China.
Pengerahan armada tempur untuk memberi deterrent effect kepada sejumlah negara yang bersengketa di wilayah perairan tersebut, terutama China yang mengklaim wilayahnya dari Kepulauan Spartly hingga tujuh pulau di gugusan Kepulauan Natuna. “Saat ini ada tujuh KRI (kapal perang) yang kita siagakan di sana (Natuna), ada juga pesawat udara patroli maritim,” terang Kadispenal, Laksamana Muda (Laksma) Muhammad Zainuddin, kemarin.
Menurutnya, tiga KRI sudah berada Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IV (Lantamal IV) Tanjung Pinang, yang merupakan Lantamal terdekat yang dimiliki Komando Armada Indonesia Kawasan Barat (Koarmabar). Namun saat ditanya nama kapal perang tersebut, Zainuddin mengaku hal itu rahasia negara.
“Dengan penambahan tiga KRI tersebut, sudah tujuh kapal perang yang disiagakan untuk memberikan deterrent effect di kawasan tersebut. Sebelumnya, sudah ada empat KRI yang disiagakan. Selain itu, intensitas patroli udara di kawasan itu juga ditingkatkan,” tambahnya.
Meski diprotes oleh sejumlah negara Asia Tenggara, China tetap menduduki Kepualuan Spartly. Bahkan negara tirai bambu itu telah mereklamasi tujuh pulau karang untuk pembangunan pangkalan militer.
Tak hanya sampai di situ, China kemudian memperluas peta wilayahnya dengan memasukkan wilayah NKRI di Kepulauan Natuna sebagai wilayahnya.
Inilah yang kemudian membuat buruk hubungan kedua negara. Bahkan sikap tegas telah ditunjukkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Di antaranya menolak ajakan Menteri Pertahanan (Menhan) China, Chang Wanquan, untuk menggelar latihan bersama di Laut China Selatan. Gatot beralasan, semua negara harus menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas militer di kawasan tersebut.
Terpisah, mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (pur) Marsetio mengatakan, penguatan armada tempur di kawasan Laut China Selatan sebagai hal yang mutlak dilakukan. Yah, alasan China mengklaim wilayah Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau, sebagai wilayahnya diduga karena Natuna kaya akan minyak dan gas bumi terbesar di dunia. Satu ladang gas di Blok Natuna D-Alpha saja memiliki cadangan gas 222 triliun kaki kubik (TCT) yang tak akan habis diekspolitasi hingga 30 tahun mendatang.. “Di situ terdapat sumber energi yang besar,” ujarnya di Kantor Lemhannas, Jakarta.
Menurutnya, persoalan energi akan menjadi sumber utama pertikaian antar bangsa di masa mendatang. Sebagai kawasan penyimpan energi, Laut China Selatan menjadi daerah yang rawan. “Perang tidak di Eropa lagi, tapi di kawasan yang menyimpan energi,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi dengan tegas telah memberikan warning kepada China. Menurutnya, klaim China sangat tidak masuk akal, dan jauh dari logika hukum internasional. Apalagi wilayah Kepulauan Natuna sangat jauh dari China. “Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apapun,” ujar Jokowi.
s : merdiko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.